DEBU
Sukakah kita dengan
debu? Saya yakin, tidak! Ia harus disingkirkan. Apalagi di musim panas, debu
akan beterbangan memenuhi berbagai tempat karena kondisi alam NTT yang memang
memiliki musim kemarau yang sangat panjang. Tetapi debu sangat dinantikan juga.
Di awal musim penghujan tahun ini begitu banyak yang menggambarkan tentang
nikmatnya debu. Kalau membaca status di media sosial kita akan menemukan
berbagai komentar tentang debu di awal musim hujan. Ada begitu banyak yang
menikmati debu di musim hujan. Sangat nikmat dan memberikan kesejukan dan
pengharapan. Itulah diri kita.
Kita dibentuk oleh Allah dari debu
dan Allah menghembuskan nafas hidup (Kej. 2:7). Debu yang disingkirkan, debu
pula yang dibentuk menjadi ciptaan termulia. Debulah yang meberikan pengharapan
akan karya Alla selanjutnya di dunia. Debulah yang diberikan tanggungjawab
untuk mengelola segenap alam semesta (kej. 2:15). Tetapi harapan pada debu yang
berakhir dengan tidak melaksanakan tanggungjawab sesuai perintah (Kej. 3:17).
Manusia (debu) jatuh ke dalam dosa. Melakukan melebihi tanggungjawab yang
diberikan oleh Tuhan. Debu kembali berada dalam keterpurukkan. Mulai merangkak
lagi dari bawah. Dari dirinya sendiri. Karya manusia (debu), dimulai dari debu
(tanah) dan akan kembali menjadi debu.
Mengusahakan debu (tanah dan segenap
kekayaannya) adalah mengusahakan kita (manusia). Mengelola tanah, mengelola
diri sendiri. Salah mengelola diri melebihi tanggung jawab akan berkibat
keterpurukan. Karena itu, janganlah kita kaget dan heran tentang berbagai
bencana alam yang menimpa kita. Debu makan debu. Padahal debu itu nikmat,
seperti nikmatnya debu yang masuk di hidung di musim hujan, atau halaman yang
disiram. Hidupkan diri dalam karya untuk menjadikan tanah, negeri dan segenap
ciptaan sebagai kesatuan yang terberkati.
Doa: Tuhan, saya debu. Saya menikmati hasil yang
keluar dari debu. Terima kasih untuk berkat-Mu dari debu. Amin (yhb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar